Senin, 11 Januari 2016

La Tahzan, Keep Happy

Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barangsiapa bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza wajalla. —
(HR. Ahmad)


Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. —
(QS.2:216), Al Quran


Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas. —
(QS.2:212), Al Quran

Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu, jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal.
(Q.S Ali Imran:160)

Istikharah Cinta

Ya Allah jika aku jatuh cinta,
Cintakanlah aku pada seseorang
Yang melabuhkan cintanya
padaMu, agar bertambah
kekuatanku untuk menyintaiMu.

Ya Muhaimin jika aku jatuh hati,
Izinkanlah aku menyentuh hati
Seseorang yang hatinya terpaut
padaMu agar tidak terjatuh aku
dalam jurang cinta nafsu....

Ya Rabbana jika aku jatuh
Hati, jagalah hatiku
Padanya agar tidak
Berpaling daripada
hatiMu...

Ya Rabbul Izzati jika aku
Rindu, rindukanlah aku
Pada seseorang yang
Merindui syahid di
jalanMu...

Ya Allah jika aku menikmati
Cinta kekasihmu, jangalah
kenikamatan itu melebihi
kenikmatan indahnya
bermunajat di sepertiga malam
terakhirMu...

Ya Allah jika aku jatuh hati
Pada kekasihMu, jangan biarkan
Aku tertatih dan terjatuh dalam
Perjalanan panjang menyeru
Manusia kepadaMu...

Ya Allah, jika Kau halalkan aku
Merindui kekasihMu, jangan biarkan
Aku melampaui batas sehingga
Melupakan aku pada cinta hakiki dan
Rindu abadi hanya kepadaMu...
Amin...

Jogja 23, January 2015

Kuasa Ilahi

Mungkin kau tak tahu dimana rizkimu...
Tapi rizkimu tahu dimana dirimu...
Dari lautan biru, bumi dan gunung...
Allah memerintahkannya menujumu...
Allah menjamin rizkimu, sejak 4 bulan 10 hari kau dalam kandungan ibumu...

Amatlah keliru bila bertawakkal rizki, dimaknai dari hasil bekerja...
Karena bekerja adalah ibadah... sedang rizki itu urusanNya...

Melalaikan kebenaran, melalaikan kewajiban agama, melalaikan dakwah,
demi mengkhawatirkan apa yang dijaminNya...
Adalah kekeliruan berganda...

Manusia membanting tulang, demi angka simpanan gaji...
Yang mungkin esok akan ditinggal mati...
Mereka lupa bahwa hakekat rizki bukan apa yang tertulis dalam angka...
Tapi apa yang telah dinikmatinya...

Rizki tak selalu terletak pada pekerjaan kita...
Allah menaruh sekehendakNya...

Diulang bolak balik 7x shafa dan marwa...
Tapi zamzam justru muncul dari kaki bayi Ismail...
Ikhtiyar itu perbuatan...
Rizki itu kejutan...

Dan jangan lupa...
Tiap hakekat rizki akan ditanya...
"Darimana dan untuk apa"...
Karena rizki adalah "hak pakai"...
Halalnya dihisab...
Haramnya diadzab...

Maka, jangan kau iri pada rizki orang lain...
Bila kau iri pada rizkinya, kau juga harus iri pada takdir matinya...
Karena Allah membagi rizki, jodoh dan usia ummatnya...
Tanpa bisa tertukar satu dan lainnya...
Jadi yakinlah semua adalah atas kehendakNya...

MAKSIMALKAN SISA USIA UNTUK KETA’ATAN


Imam Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah (wafat 187 H) pernah berkata kepada seseorang: Berapa usiamu? Orang itu menjawab: 60 tahun. Al-Fudhail berkata: Berarti sejak 60 tahun engkau berjalan menuju Tuhanmu dan hampir-hampir engkau akan sampai pada-Nya.

Mendengar hal itu, orang tersebut berkata: إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

Al-Fudhail berkata lagi:

أَتَعْرِفُ تَفْسِيرَهُ؟، تَقُولُ أَنَا لِلَّهِ عَبْدٌ وَإِلَيْهِ رَاجِعٌ، فَمَنْ عَلِمَ أَنَّهُ لِلَّهِ عَبْدٌ، وَأَنَّهُ إِلَيْهِ رَاجِعٌ، فَلْيَعْلَمْ أَنَّهُ مَوْقُوفٌ، وَمَنْ عَلِمَ أَنَّهُ مَوْقُوفٌ، فَلْيَعْلَمْ أَنَّهُ مَسْئُولٌ، وَمَنْ عَلِمَ أَنَّهُ مَسْئُولٌ، فَلْيُعِدَّ لِلسُّؤَالِ جَوَابًا

Tahukah engkau tafsir dari kalimat yang engkau ucapkan? (tafsirnya adalah) engkau katakan: bahwa aku adalah hamba milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Maka barang siapa yang mengetahui bahwa dia adalah hambanya Allah dan dia akan kembali kepada-Nya, hendaklah ia mengetahui bahwa ia akan dibangkitkan di hadapan Allah kelak. Dan siapa yang tahu bahwa ia akan dibangkitkan, maka hendaklah ia mengetahui bahwa ia akan ditanya, dan siapa yang tahu ia akan ditanya maka hendaklah ia mempersiapkan jawaban.

Orang itu bertanya: Lalu apa jalan keluarnya? Al-Fudhail menjawab: Mudah. Apa itu? tanya laki-laki tersebut. Al-Fudhail berkata:

تُحْسِنُ فِيمَا بَقِيَ يُغْفَرُ لَكَ مَا مَضَى، فَإِنَّكَ إِنْ أَسَأْتَ فِيمَا بَقِيَ، أُخِذْتَ بِمَا مَضَى وَبِمَا بَقِيَ


Engkau berbuat baik pada umurmu yang tersisa, niscaya akan diampuni bagimu apa yang telah lewat, karena bila engkau berbuat jelek dengan umurmu yang tersisa engkau akan disiksa karena kejelekan yang telah lalu dan yang akan engkau perbuat dalam sisa umurmu. (Jâmi`ul Ulum wal Hikam, 2/383, Muassasah ar Risalah, Maktabah Syâmilah)

Nilai sebuah persahabatan...


════════ Berkata Umar bin Khattab Radhiyallahu 'anhu: Tidaklah seorang hamba diberi kenikmatan yang lebih besar setelah keislaman, selain sahabat yang sholih. Maka apabila kalian mendapati teman yang sholih, peganglah ia erat-erat"

══════════ Berkata Imam Syafi'i: " Apabila kalian memiliki teman - yg membantumu dalam ketaatan- maka genggam erat tangannya, karena mendapatkan seorang sahabat itu sulit sedangkan berpisah darinya itu mudah"

══════════ Berkata Al Hasan Al Bashri: " Sahabat2 kami lebih kami cintai daripada keluarga dan anak2 kami, karena keluarga kami mengingatkan kami pada dunia, sedangkan sahabat2 kami mengingatkan kami pada akhirat. Dan sebagian sifat mereka adalah : itsar (mendahulukan orang lain dalam perkara dunia)

═════💠💠═════ 💞 Berkata Luqman Al hakim pada anaknya: " Wahai anak ku hendaknya yang pertama engkau usahakan setelah keimanan kepada Allah adalah mencari sahabat yang jujur. Karena ia ibarat pohon, bila engkau duduk berteduh di bawahnya, ia akan meneduhimu, bila engkau mengambil buahnya dia akan mengenyangkanmu, dan bila ia tidak memberimu manfaat, ia tidak merugikanmu"

═════💠💠═════ 💞 Ketika Imam Ahmad rahimahullah sakit, sampai terbaring di tempat tidurnya, sahabat beliau, Imam Syafi'i rahimahullah menjenguknya. Maka tatkala Imam Syafii melihat sahabatnya sakit keras, beliau sangat sedih, sehingga menjadi sakit karenanya. Maka ketika Imam Ahmad mengetahui hal ini, beliau menguatkan diri untuk menjenguk Imam Syafi'i. Ketika beliau melihat Imam Syafi'i beliau berkata: Kekasihku sakit, dan aku menjenguknya Maka aku ikut menjadi sakit karenanya Kekasihku telah sembuh dan ia menjengukku Maka aku menjadi sembuh setelah melihatnya

═════💠💘💠═════ 🍁 Ya Allah berikan kepada kami sahabat sahabat yang sholih 🍁 Allah berfirman : : {وسيق الذين اتقوا ربهم إلى الجنة زمرا} . Imam Ibnul Qayyim berkata menafsirkan ayat ini: "Allah enggan memasukkan manusia ke dalam surga dalam keadaan sendirian, maka setiap orang akan masuk surga bersama sama dengan sahabatnya" 🌿 Aku memohon kepada Allah, dengan nama-namaNya dan sifat-sifatNya yang mulia, agar kita menjadi sahabat sejati dalam ketaatan, yang kelak tangan-tangan ini akan menggandeng tangan yang lain memasuki surgaNya.


Aamiiin yaa Rabbal 'aalamiiin

Merindukan Halaqoh


Pernahkah Anda merasa jenuh mengikuti perhalaqohan? Untuk membenarkan kebosanan itu orang sering mencari pembenaran untuk tidak mengikutinya. Meriang sedikit minta izin dengan alasan tidak enak badan. Gerimis dibilang hujan, ustadz, afwan tidak bisa hadir. Si kecil rewel menjadi alasan ada urusan keluarga mendesak. Masya Allah ada saja seribu satu alasan bagi kita untuk menjadi budak nafsu kemalasan.
Apalagi bila musrif yang mengajarkan tidak berkenan menurut selera kita. Gaya bicaranya tidak menarik, status sosialnya tidak meyakinkan, ditambah lagi tsaqofahnya terbatas. Kian memberatkan hati dan langkah untuk hadir ke majlis halaqoh. Bila pun hadir halaqoh hanya sebagai pertemuan menjemukan yang ingin cepat diselesaikan. Atau menjadi ajang untuk tertidur hingga doa penutup majlis dibacakan.
Padahal perhalaqohan adalah pilar dari sebuah aktifitas dakwah. Satu motor dari mesin perubah masyarakat.  Halaqoh adalah kesempatan mentransfer pemahaman dari kitab pembinaan kepada para peserta halaqoh. Mungkinkah melakukan perubahan di tengah masyarakat tanpa mengurai konsep perubahan itu sendiri?

Duhai jiwa yang malas, inginkah mendengar bagaimana para salafus soleh yang telah menegakkan peradaban ini begitu merindu pada halaqoh bersama guru-guru mereka?

Baiklah kunukilkan beberapa kisah semangat jiwa orang-orang alim dalam meniti jalan menggapai ilmu. Sebutlah Ibnu Jandal al-Qurthuby Rahimahullah yang berjuang untuk bisa menghadiri majlis ilmu Ibnu Mujahid. Beliau bercerita : Saya pernah belajar kepada Ibnu Mujahid. Suatu hari saya mendatanginya sebelum fajar agar saya bisa duduk lebih dekat dengan nya. Ketika saya sampai di gerbang pintu yang menghubungkan ke majelisnya, saya dapati pintu itu tertutup dan saya kesulitan membukanya. Saya berkata : Subhanallah, saya datang sepagi ini, tetapi saya tetap saja tidak bisa duduk didekatnya. Kemudian saya melihat sebuah terowongan disamping rumahnya. Saya membuka dan masuk kedalamnya. Ketika sampai di pertengahan terowongan yang semakin menyempit, saya tidak bisa keluar ataupun kembali. Saya membuka terowongan selebar lebarnya agar bisa keluar. Pakaian saya terkoyak, dinding terowongan membekas ditubuh saya, dan sebagian daging badan saya terkelupas. Allah Subhanahu wa taala menolong saya untuk bisa keluar darinya, mendapatkan majelis Syaikh dan menghadirinya, sementara saya dalam keadaan yang sangat memalukan seperti itu.

Sudahkah kita berkorban harta untuk menghadiri perhalaqohan? Ongkos naik angkot agar bisa hadir ke majlis halaqoh atau membeli bensin agar motor bisa kita pakai menuju tempat ilmu tersebut? Simaklah kisah Imam Abu Hatim Ar-Razi Rahimahullah niscaya kita akan merasa malu. Beliau berkata : Saya tinggal di Bashrah selama delapan bulan pada tahun 241 H. Didalam hati saya ingin tinggal selama setahun (agar bisa berlajar ilmu lagi), tetapi saya kehabisan nafkah. Maka saya menjual pakaian-pakaian saya sedikit demi sedikit, sampai saya betul-betul tidak memiliki nafkah lagi.
Bagaimana pengorbanan dan kecintaan kita pada majlis halaqoh? Sudahkah seperti para salafus soleh yang senantiasa haul ilmu dan dimabuk ilmu? Masihkah kita meragukan janji Allah bahwa Ia akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu?

يَآيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْآ اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجَلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللهُ لَكُمْ وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ اَمَنُوْا مِنْكُمْ وَ الَّذِيْنَ اُوْتُوْا الْعِلْمَ دَرَجَتٍ وَ اللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ ـ المجادلة

Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: Berlapang-lapanglah dalam majlis, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(al-Mujadilah: 11).

Maukah kita dimohonkan ampunan oleh semua mahluk di langit, di bumi bahkan oleh ikan-ikan di dasar samudera? Mereka hanya memanjatkan permohonan doa kepada orang-orang yang berilmu? Apakah kita merasa malu menerima keridloan para malaikan dimana mereka mengembangkan sayapnya bagi para pencari ilmu?

Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayapnya bukti keridloannya pada penuntut ilmu, dan sesungguhnya orang yang alim akan dimintakan ampunan oleh penghuni langit dan bumi serta ikan-ikan dilautan.(HR. Abu Daud)
Benar, bahwa orang yang menukil isi kitab kepada peserta halaqoh haruslah orang yang berkompeten. Tapi seringkali ukuran kompeten atau tidak kompeten itu lebih dikuasai oleh hawa nafsu kita sebagai peserta halaqoh. Ego kita mengalahkan keimanan sehingga menghilangkan ketawadluan diri di hadapan sesama muslim, apalagi di depan seorang guru. Hingga muncul sikap merendahkan kemampuan orang lain. Kita pun beringsut-ingsut menarik diri dari halaqoh dengan alasan pembina tidak memuaskan.

Seorang pembina memang harus selalu meningkatkan kualitas diri, akan tetapi itu bukan alasan bagi seorang muslim untuk meninggalkan majlis ilmu. Karena sekecil apapun, ilmu akan tetap bermanfaat. Lupakah kita dengan kemuliaan Umar bin Abdul Aziz rahimahullah yang terdiam saat seorang remaja dari Hijaz memberinya nasihat? Remaja itu berkata, Sesungguhnya nilai seseorang itu ditentukan oleh hati dan lidahnya…”
Duduk di hadapan guru yang kemampuannya tidak seperti yang kita harapkan, lalu mendengarkan pembicaraannya, sebenarnya adalah bagian dari pembelajaraan yang mendasar dari sebuah majlis ilmu; keikhlasan dan kesabaran. Tanpa kedua sifat itu tidak mungkin seorang murid akan mendapatkan kemanfaatan dalam majlis ilmu.

Maka, sudahkah kita merindukan hadir di majlis halaqoh? Ataukah kita masih sibuk mencari-cari pembenaran ketidakhadiran kita? Semoga Allah memberikan hidayah untuk kita semua agar menjadi insan yang cinta ilmu, majlis ilmu, dan para pemberi ilmu. Agar kita senantiasa merindukan halaqoh, darah kita bergelora untuk hadir di dalamnya, dan jantung kita berdegup kencang setiap kali mata ini menatap kalam demi kalam dari kitab-kitab kajian.


(Sumber : http://www.iwanjanuar.com/merindukan-halaqoh)

Sabtu, 09 Januari 2016

Pengemban Dakwah, Kewajiban dan Sifat-sifatnya

DIRASAH PELAJAR
Minggu, 27 Desember 2015
Oleh: Yusnidar Azimah Al-Miqdad

Sesungguhnya Allah swt telah memilih para Nabi dan para Rasul dari kalangan bani Adam. Allah telah mengutamakan mereka atas seluruh manusia. Allah juga telah memberikan beban tugas kepada mereka untuk menyampaikan syariat dan petunjuk-Nya. Dengan demikian, menyampaikan syariat Allah dan petunjuk-Nya merupakan aktivitas sekaligus tugas utama para Nabi dan para Rasul. Faktor inilah yakni menyampaikan syariat dan petunjuk Allah yang menentukan keterpilihan dan keutamaan mereka. Dengan demikian, upaya menyampaikan syariat Allah dan petunjuk-Nya merupakan amal yang paling utama dan paling mulia. Artinya, apabila seorang muslim melakukan aktivitas tersebut sebagai cara untuk mengikuti jejak langkah para Nabi dan Rasul dan meneladani mereka, yakni mengemban dakwah sebagaimana yang telah mereka lakukan sebelumnya, maka ia telah benar-benar menegakkan sebuah aktivitas/amal yang paling utama dan paling mulia.
Sudah lama kaum muslimin hidup dalam ketiadaan khilafah yang akan menerapkan syariat secara keseluruhan. Maka dari itu, Pada tahapan tafa’ul taam ini pengemban dakwah harus menyadari, bahwa tidak ada diantara kaum muslimin yang tidak membutuhkan khilafah karena umat hidup dibawah sistem kapitalisme yang menyengsarakan baik secara aqidah, politik,ekonomi, hukum, pendidikan bahkan budaya-budaya kufur yang semakin merusak umat. Secara opini sudah menggema, tingal dibukakan pintu oleh ummat. Jalan terakhir yakni menunggu nasrullah berupa adanya orang-orang penolong atau ahlu an-nushrah. Dengan begitu, kita harus mencari perhatian Allah dengan mendekatkan diri kepada-Nya. Dengan menyiapkan amunisi secara utuh, baik secara lahir (tsaqafah dan raga) dan batin (taqarub ila Allah dan mental).
“Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah, padahal Allah-lah yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi? Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (TQS. Al-Hadid:10)
Seorang pengemban dakwah juga harus bersikap hati-hati. Jangan sampai ia berpaling dan terperosok kedalam godaan dan jangan pula ia cenderung pada berbagai perangkap kebatilan yang sengaja dipasang oleh musuh-musuh mereka, atau orang-orang bodoh yang berusaha memalingkan dari perkataan yang benar,dan keterikatan dengan kebenaran, dan dari keteguhan dalam mendakwahkan kebenaran.
Seorang pengemban dakwah mesti mempelajari kisah-kisah para Nabi dan Rasul, sekaligus menyaring hikmah dan pelajaran yang disarikan dari kisah-kisah para Nabi dan Rasul di tengah-tengah aktivitasnya mengemban dakwah. Tentu saja, semua itu harus disandarkan pada Sirah Nbawiyah yang menjadi asasnya. Siapa saja yang tidak melakukannya, berarti ia telah membatasi dan mengurangi keutamaan bagi dirinya, ia tidak mendapatkan baian apa pun selain sekedar pahala dari membacanya saja.
Inilah sejumlah pelajaran dan hikmah yang bisa dijadikan dasar penelitian dan pijakan lebih lanjut oleh para pengemban dakwah dalam melakukan pengkajian dan penyelidikan kisah-kisah para Nabi dan Rasul.
pertama, di antara yang paling penting diperlukan oleh seorang pengemban dakwah adalah keteguhan dalam dakwah . Hal itu karena banyaknya rintangan dan kesulitan yang bakal dihadapinya, banyaknya siksaan dan tekanan yang bakal dialaminya, dan banyaknya godaan atau hasutan yang bakal ditawarkan kepada dirinya. Sesungguhnya seorang pengemban dakwah akan dihadapkan pada perlawanan dan penolakan para penentang dakwah akibat dakwah yang konsistensinya di dalamnya. Kadang-kadang menawarkan kerjasama dan harta dalam jumlah banyak, kadang-kadang pula mereka menawarkan berbagai jabatan yang tinggi dan kedudukan yang terpandang. Apabila semua itu gagal dan pengemban dakwah terus konsisten dan bersikap teguh dalam dakwahnya, mereka akan menggunakan senjata untuk menghantamnya secara fisik, menimpakan berbagai bentuk penyiksaan fisik maupun psikis kepadanya, menumpahkan berbagai penderitaan atas dirinya, atau memenjarakannya selama bertahun-tahun. Dalam hal ini, pengemban dakwah mana pun yang bersikap lemah dan malah memenuhi tuntutan mereka sesungguhnya telah terjatuh pada murka Allah dan siksa-Nya. Sebalinya, siapa saja yang tetap bersikap teguh dalam dakwahnyadan dapat membebaskan diri dari semua itu akan mendapatkan pahala yang besar dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah.
Kedua, keteguhan dan kekonsistenan dalam dakwah, yakni dalam seluruh pemikiran dan hukum-hukum syariat yang diemban dan didakwahkan epada masyarakat, adalah kewajiban yang sangat besar yang mesti ditegakkan dengan sekuat tenaga. Seorang muslim, apalagi pengemban dakwah, secara mutlak haram mengemban satu pemikiran atau satu hukum pun yang berasal dari luar Islam. Mereka harus senantiasa bersikap waspada dan berhati-hati terhadap setiap pemikiran ataupun hukum batil dan merusak yang dilontarkan oleh musuh-musuh  dakwah dan musuh-musuh Islam. Sayangnya, pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum diluar Islam itu justru sering dilontarkan dan didakwahkan oleh para ulama, ahli fikih, dan orang-orang yang berada dalam pengaruh para penguasa. Akibatnya, kaum Muslim tersimpangkan dari pemahaman Islam yang shahih dan terpalingkan dari agamanya yang benar. Padahal, pertolongan Allah akan datang bersamaan dengan keteguhan di atas kebenaran walaupun berat dan sulit.
ketiga, sikap sabar yang menghiasi dirinya secara terus-menerus akan mendatangkan pertolongan Allah. Tanpa sikap sabar, Allah tidak menolongnya, dan tidak akan pernah memuliakannya.
“Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka. Tak ada seorangpun yang dapat merobah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebahagian dari berita rasul-rasul itu.” (TQS. Al-An’am:34)
keempat, seorang pengemban dakwah wajib untuk beramal semata-mata ikhlas karena Allah, tidak mencari imbalan atau balasan berupa harta, pangkat, maupun tujuan-tujuan duniawi lainnya. Sebab, ketika ia beramal dengan amal para Nabi, yakni mengemban dakwah, sudah seharusnya ia pun meneladani keteladanan yang mereka tunjukkan. Sebagaimana perkataan Nabi Nuh a.s. kepada kaumnya.
Dan (dia berkata): "Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang tidak mengetahui." (TQS. Hud:29)
Menjauhi sikap hawa nafsu dan syahwat, inilah kewajiban terbesar bagi setiap pengemban dakwah yakni menjauhi sikap memperturutkan hawa nafsu serta memenuhi berbagai keinginan dan syahwat di atas keteguhannya dalam memegang dan terikat dengan kebenaran. Sebab, itu merupakan kesesatan yang sangat nyata. Setiap pengemban dakwah jugatidak boleh menjadi sesat dan menyesatkan.
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (TQS. Shad:26)
kelima, setiap pengemban dakwah wajib meyakini janji Allah berupa pertolongan, meyakini akan berpindahnya kepemimpinan di muka bumi kepada mereka, serta meyakini bahwa mereka akan mampu mengalahkan orang-orangyang durhaka, takabur, zalim, dan sekular. Semua itu harus diyakini sebagai suatu hakikat yang nyata, yang mesti tertanam secara mendalam dalam dirinya, serta sebagai suatu yang niscaya meskipun dia sendiri mungkin tidak akan merasakan atau bahkan menyaksikannya. Bagi seorang pengemban dakwah, sudah cukup jika ia meyakini janji Allah Swt, berupa pertolongan-Nya dengan memandang bahwa pertolongan tersebut sebagai suatu hakikat yang nyata dan pasti terjadi. Dengan meneliti berbagai kisah para Nabi dan Rasul di dalam Al-qur’an kita akan menemukan bahwa pertolongan Allah kepada mereka memiliki tiga bentuk: (1) pertolongan diri Nabi/Rasul yang bersangkutan dalam menghadapi kaumnya, para penentangnya, dan orang-orang durhaka dari kalangan mereka, (2) pertolongan atas dakwah atau pemikiran yang di Nabi/Rasul yang bersangkutan, (3) pertolongan atas diri Nabi/Rasul yang bersangkutan dan dakwahnya secara bersamaan.
Keenam, seorang pengemban dakwah akan menemukan bahwa keselamatan dan keetrlindungan makhluk dari azab Allah hanya mungkin terwujud semata-mata dengan cara berlindung kepada Allah dan menjalankan perintah-Nya. Begitu juga sebaliknya.
“Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya,[ sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: "Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir." Anaknya menjawab: "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!" Nuh berkata: "Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang." Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. (TQS. Hud:42-43)
ketujuh, seorang pengemban dakwah wajib untuk mengemban dakwah dengan penuh kekuatan, teguh, dan bersifat menantang, tanpa mempedulikan lagi berbagai akibat dan bahaya yang bakal menimpa dirinya. Ia semata-mata menjadikan dakwah dan kemaslahatannya sebagai target dan tujuan hidupnya. Ia pun menyadari bahwa rasa takut kepada manusia, bersikap lemah, dan mencari selamat, justru akan menjauhkannya dari berbagai kesuksesannya dalam dakwah serta menjauhkannya dari keridhaan dan pertolongan Allah swt.
“Rasulullah pernah berdiri di tengah-tengah kami. Beliau tidak meninggalkan di tempat berdirinya itu satu keterangan pun mengenai apa yang akan terjadi sampai hari kiamat kecuali beliau ceritakan semuanya. Mereka yang menghafalnya akanhafal dan mereka yang melupakannya akan lupa. Sungguh para sahabat rasulullah mengetahui semua keterangan tersebut.” (HR. Abu Daud dan Ibn Hibban)
Seperti yang telah kita ketahui, Rasulullah saw. Adalah orang yang sangat ingin menjaga dan memelihara umatnya serta senantiasa memberi nasihat kepada mereka. Karena itu dalam khutbahnya itu Rasulullah pernah memberi isyarat adanya kelompok yang akan diberi pertolongan dan memperoleh kemenangan? Apakah beliau menerangkan sifat-sifatnya?
Apabila kita meneliti hadist-hadist Nabi yang mulia dalam masalah ini, kita akan mendapatkan sejumlah hadist yang menyebutkan sekumpulan sifat dari sebuah kelompok. Hadist-hadist tersebut menyebutkan berbagai hal yang bakal dihadapioleh kelompok yang dimaksud, seperti adanya sikap permusuhan, penelantaran orang-orang, dan penentangan para penentangnya, yang semua itu tidak sampai memadaratkan (menghentikan perjuangan) mereka. Hadist-hadist tersebut juga menjelaskan begaimana perjuangan dan upaya mereka untuk melaksanakan perintah Allah serta mengawasi dan mengontrol pelaksanaannya, menyebutkan konsitensi mereka dalam kebenaran dan keteguhan mereka dalam membela agama Islam, menentukan tempat kemunculan dan pertumbuhan mereka, serta mengabarkan bahwa kelompok yang dimaksud akan memperoleh kemenangan dan akan berhasil menegakkan sebuah negara (Khilafah Islamiyah) yang akan memerangi musuh-musuh Islam pada akhir zaman.
Sabda Rasulullah saw:
“Akan senantiasa ada sebagian orang dari umatku yang terus menegakkan urusan agama Allah. Tidak sampai memadaratkan mereka orang-orang yang menelantarkan mereka atau yang menentang mereka atau yang menentang mereka hingga tiba keputusan Allah (Hari Kiamat), sementara mereka tetap dalam kedaan seperti itu.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
Setiap pengemban dakwah harus memahami bahwa dirinya merupakan representasi atau perwujudan Islam satu-satunya di tengah ketiadaan Daulah Islamiyah sebagai representasi atau perwujudan Islam yang paling besar. Setiap pengemban dakwah harus menjadi “Islam yang Berjalan”, persis seperti para sahabat Rasulullah saw. Ia tidak boleh menganggap remeh salah satu dari ketiga aspek yaitu ucapan, perilaku, dan sifat yang membentuk kepribadian Islamnya selaku seorang pengemban dakwah. Karena itu, siapa saja yang mampu mempresentasikan dan mewujudkan Islam secara benar dan sempurna dalam dirinya, berarti ia layak disebut sebagai pengemban dakwah, yang akan sukses dalam aktivitasnya dan akan mampu memuaskan manusia dengan berbagai pemikiran serta hukum-hukum Islam yang diemban dan didakwahkannya. Sebaliknya, siapa saja yang tidak mampu mempresentasikan dan mewujudkan Islam dalam dirinya, ia berarti kehilangan jatidirinya sebagai seorang pengemban dakwah yang sejati. Ia tidak dipandang mampu mengemban dakwah secara kontinu dengan menuai keberhasilan dalam dakwahnya.
Seorang pengemban dakwah wajib menjadi seorang yang ‘alim (berilmu), yakni menguasai berbagai pemikiran dan hukum-hukum Islam yang wajib ia ketahui dalam kapasitasnya sebagai pengemban dakwah. Karena, orang bodoh tentu tidak akan mampu dan tidak dapat dipercaya untuk dapat menyampaikan apa yang diperintahkan oleh Islam, sehingga ia pasti tidak mungkin mampu mengemban dakwah secara benar. Dalam hal ini, Allah telah mendorong setiap orang untuk menuntut ilmu, sekaligus mengagungkan kedudukan para ulama. Allah swt berfirman:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (TQS. Al-Mujadillah:11)
Seorang pengemban dakwah, secara asali, haruslah orang yang berilmu. Dia harus memahami bahwa dirinya mesti menjadi teladan bagi masyarakatnya. Dengan begitu, mereka akan mendengar setiap ucapannya dan mengambilnya dengan anggapan bahwa ucapannya adalah hukum syariat atau merupakan bagian dari agama. Perkara ini tidak boleh diabaikan dan dianggap enteng dalam situasi dan kondisi apa pun. Bahkan, seandainya ia dalam keadaan benci, marah, atau yang sejenisnya, ia tetap harus mengucapkan kata-kata yang benar sebagaimana diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Seorang pengemban dakwah juga wajib untuk menjalankan amal perbuatannya, sekaligus mengikat seluruh perilakunya dengan hukum-hukum syariat. Ia tidak boleh melakukan perbuatan apa pun kecuali yang sesuai dengan hukum syariat,  karena sebuah kaidah syariat mengatakan:
“Hukum asal perbuatan adalah terikat dengan hukum syariat”.
Seorang pengemban dakwah juga mesti menghiasi dirinya dengan sifat-sifat yang terpuji dan akhlak yang baik. Ia harus bersikap benar/jujur dan ikhlas, pemurah dan mau berkorban, sabar dan teguh pendirian, rendah hati dan mencintai sesama, takut kepada Allah, cinta dan benci karena Allah, berbaik sangka kepada orang lain, dll.sebaliknya, ia tidak boleh memiliki sifat-sifat yang tercela dan akhlak yang buruk. Karena, Allah tidak akan memberikan taufik atas amal-amal mereka dan tidak pula memberikan pahal kebaikan kepada mereka.
Seorang pengemban dakwah wajib untuk berpegang teguh pada hukum-hukum syariat serta berusaha meninggalkan dosa dan kemaksiatan sampai Allah memberikan kebaikan melalui tangannya, memuliakannya dengan menurunkan pertolongan kepada umat ini melalui usahanya, mengokohkan kedudukannya di dunia, memasukkannya ke dalam surga Firdaus, serta menempatkannya pada derajat yang sangat tinggi di surga pada hari perjumpaan dengan-Nya.
Keimanan yang kuat akan memungkinkan pengemban dakwah berhasil menghindarkan diri dari berbagai  godaan dan tawaran-tawaran istimewa yang di sodorkan kepadanya. Juga dapat melepaskan dari jeratan berbagai keingingan dan hawa nafsu yang mendominasinya. Dengan begitu, ia akan menjadi api yang menyala-nyala, gerak dinamis, serta aktivitas yang berkesinambungan, yang dapat mengalahkan segala rintangan, mengatasi segala godaan dan kesesatan, serta menyingkirkan berbagai keinginan dan syahwat. Dengan begitu pula ia akan menjadi sebuah representasi dari Islam yang hidup, yang diliputi dengan pemeliharaan, pertolongan, dan taufik Allah, yang menyebabkan dirinya berhak mendapatkan pertolongan Allah sehingga berbagai kebaikan berada di tangannya.
Rintangan berupa kecintaan terhadap dunia dapat dilalui dengan mengedepankan kecintaan terhadap akhirat sekaligus berupaya menumbuhkembangkan cinta tersebut diatas kecintaan terhadap dunia dan upaya menumbuhkembangkannya.
“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: "Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah" kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit.” (TQS. At-Taubah:38)
 “Akan tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.”             (TQS. Al-A’la:16-17)
Dunia ibarat seperti air
“Dunia itu, dibandingkan dengan akhirat, adalah seperti salah seorang di antara kalian yang memasukkan telunjuknya ke dalam lautan. Perhatikanlah, apa yang tertinggal pada telunjuk tersebut? (HR. Muslim, at-Tirmidzi, Ibn Majah, dan Ahmad)
Dunia bukan tempat bermukim
“Jadilah kamu di dunia ini seolah-olah orang asing atau orang yang sedang menyeberangi jalan.” (HR. Al-Bukhari, at-Tirmidzi, Ibn Majah, dan Ahmad)
Cinta dunia tunduk pada nafsu
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (TQS. Al-Kahfi:28)
Islam punya visi mengamalkan dan mengemban Islam
Islam telah memerintahkan kita dengan dua perkara puncak: yakni mengamalkan ajaran Islam dan mengembannya ke tengah-tengah umat manusia. Mengamalkan Islam tanpa mendakwahkannya, baru merupakan setengah tuntutan Islam. Sebaliknya, mengemban dakwah Islam tanpa mengamalkannya, juga baru setengah tuntutan Islam. Maka, wajib menunaikan kedua-duanya secara bersamaan, yakni mengamalkan Islam dan mendakwahkannya ke tengah-tengah umat manusia.
Waspada terhadap dunia
Kaum muslim, terutama pengemban dakwah, harus berhati-hati dan waspada dari kecintaan terhadap dunia dan upaya menikmati dunia yang tidak sesuai dengan syariat Allah serta mengutamakannya atas akhirat. Hendaklah mereka berusaha untuk menggapai akhirat, mendekatkan diri kepada Allah dengan berlaku takwa kepada-Nya, serta berpindah ke golongan orang-orang yang terdahulu yang didekatkan kepada Allah ( as-sabiqun al-muqarrabun), yakni mereka yang memasuki surga tanpa hisab terlebihh dulu.
Bersama Kitabullah: Mempelajari, mengamalkan, mengajarkan
Mempelajari dan mengajarkan al-qur’an adalah sebaik-baik pembelajaran dan pengajaran, menghafal dan memelihara hafalan al-qur’an adalah sebaik-baik penghafalan dan pemeliharaan hafalan, membaca dan membaguskan bacaan al-qur’an juga adalah sebaik-baik pembacaan dan pembagusan bacaan. Setiap muslim, terutama pengemban dakwah, harus senantiasa mempelajari al-qur’an, merenungkan makna-makna dan hukum-hukumnya, sekaligus menjadikannya sebagai petunjuk dan cahaya bagi dirinya.
Rasulullah saw bersabda:
“Bacalah al-qur’an oleh kalian apa yang dapat mempersatukan kalbu-kalbu kalian. Apabila kalian berselisih, hendakalah kalian tegakkan ia.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
Al-Quran, sebagaimana telah diketahui, terdiri dari 30 juz yang bisa dibaca dalam waktu 30 hari. Dengan kata lain, setiap hari yang bisa dibaca kira-kira satu juz atau sekitar 20 halaman. Ini adalah pembacaan al-Quran yang paling normal. Kecuali bagi orang yang dipenjara/tahanan, yang terbaring ditempat tidur karena sakit, atau yang sering bangun malam, tidak mengapa jika ia membaca dan menamatkan Al-Quran kurang dari 30 hari. Dalam hal ini Abdullah bin ‘Amr menuturkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Bacalah Al-Quran itu dalam sebuka.” Aku berkata, “sesungguhnya aku sanggup melakukannyaa.” “Bacalah selama dua puluh malam.” Aku berkata, “sesungguhnya aku pun sanggup melakukannya.” “Bacalah selama seminggu dan jangan kurang dari itu.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Ahmad)
Pada dasarnya dan pada prinsipya, seorang Muslim harus membaca Al-Quran dengan penuh kesadaran, yakni dengan menyadari dan memahami apa yang dibacanya. Pada saat ia membaca Al-Quran, ia hendaknya mengetahui bahwa kalam Allah sedang mengalir melalui lisan-Nya. Karena itu, apabila ia mengabaikan hal ini karena ia disibukkan oleh perkara-perkara lain, hendaknya ia berhenti membaca Al-Quran, dan segera menunaikan terlebih dulu keperluannya. Dengan begitu, ia tidak akan membaca Al-Quran kecuali benaknya menekuni apa yang dibacanya. Apabila ia membaca ayat Al-Quran yang didalamnya berisi tentang rahmat, ia akan memohon kepada Allah untuk merahmatinya dan merahmati kaum Muslim.  Apabila ia membaca ayat Al-Quran yang didalamnya berisi tentang azab, ia akan berlindung kepada Allah dari siksa-Nya.  Dan Apabila ia membaca ayat Al-Quran yang didalamnya berisi tentang penyucian Allah, ia akan menyucikan Allah dan bertasbih untuk-Nya. Demikianlah ia senantiasa berinteraksi dengan Al-Quran dengan penuh kekhusyukan dan disibukkan dengannya hingga mengabaikan yang lainnya. Hudzaifah binal-Yaman menuturkan bahwa Rasulullah saw.bersabda:
“Sesungguhnya Rasulullah saw, apabila membaca/mendengar ayat tentang rahmat Allah, beliau memohonnya, apabila membaca/mendengar ayat tentang azab, beliau berlindung kepada Allah darinya, apabila membaca/mendengar ayat yang didalamnya menyucikan Allah, beliau pun bertasbih untuk-Nya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Tirmidzi)
Allah swt berfirman:
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. “ (TQS. Al-Baqarah:214)
Seorang pengemban dakwah,
 seharusnya menjadikan Islam sebagai cerminan di dalam dirinya;
baik menyangkut berbagai pemikiran, hukum, maupun sifat-sifat dan akhlak yang baik dan utama.
Jika Islam belum tercermin dalam dirinya, ia belum layak untuk mengemban dakwah ini.
Kalaupun ia berusaha melakukannya, jelas ia tidak akan pernah berhasil;
kebaikan juga tidak akan pernah terwujud melalui tangannya.
Sebab, dalam kondisi demikian, berarti tdk ada keselarasan maupun kesesuaian di antara dua perkara di atas.
Padahal, dua perkara di atas merupakan hal yang niscaya dan wajib ada.
Sebab, seorang pengemban dakwah sudah semestinya memahami bahwa apabila ia tidak mempersiapkan dirinya agar
Islam terintegrasi dalam dirinya, baik dalam berbagai pemikiran, hukum, maupun sifat-sifat Islami yang harus
dimiliknya, berarti ia belum layak untuk mengemban dakwah.
Bahkan, ia tidak akan pernah menjadi seorang pengemban dakwah, meskipun ia telah berusaha ataupun mengklaim
dirinya sebagai pengemban dakwah.
Karena dakwah adalah puncak kebajikan dan keutamaan dalam kehidupan umat manusia.
Dakwah tidak akan benar-benar dapat diemban kecuali oleh seseorang yang menghiasi dirinya dengan puncak kebajikan
dan keutamaan; baik dalam ucapan, perilaku, maupun sifat-sifatnya.
Ketaatan kita kepada Allahlah yang mendekatkan Nasrullah.
Marilah kita memuhasabahi diri wahai para pengemban dakwah
yang mengemban tugas mulia ini...

       Wallahu a’alam bi ash-shawab.