Sabtu, 09 Januari 2016

Pengemban Dakwah, Kewajiban dan Sifat-sifatnya

DIRASAH PELAJAR
Minggu, 27 Desember 2015
Oleh: Yusnidar Azimah Al-Miqdad

Sesungguhnya Allah swt telah memilih para Nabi dan para Rasul dari kalangan bani Adam. Allah telah mengutamakan mereka atas seluruh manusia. Allah juga telah memberikan beban tugas kepada mereka untuk menyampaikan syariat dan petunjuk-Nya. Dengan demikian, menyampaikan syariat Allah dan petunjuk-Nya merupakan aktivitas sekaligus tugas utama para Nabi dan para Rasul. Faktor inilah yakni menyampaikan syariat dan petunjuk Allah yang menentukan keterpilihan dan keutamaan mereka. Dengan demikian, upaya menyampaikan syariat Allah dan petunjuk-Nya merupakan amal yang paling utama dan paling mulia. Artinya, apabila seorang muslim melakukan aktivitas tersebut sebagai cara untuk mengikuti jejak langkah para Nabi dan Rasul dan meneladani mereka, yakni mengemban dakwah sebagaimana yang telah mereka lakukan sebelumnya, maka ia telah benar-benar menegakkan sebuah aktivitas/amal yang paling utama dan paling mulia.
Sudah lama kaum muslimin hidup dalam ketiadaan khilafah yang akan menerapkan syariat secara keseluruhan. Maka dari itu, Pada tahapan tafa’ul taam ini pengemban dakwah harus menyadari, bahwa tidak ada diantara kaum muslimin yang tidak membutuhkan khilafah karena umat hidup dibawah sistem kapitalisme yang menyengsarakan baik secara aqidah, politik,ekonomi, hukum, pendidikan bahkan budaya-budaya kufur yang semakin merusak umat. Secara opini sudah menggema, tingal dibukakan pintu oleh ummat. Jalan terakhir yakni menunggu nasrullah berupa adanya orang-orang penolong atau ahlu an-nushrah. Dengan begitu, kita harus mencari perhatian Allah dengan mendekatkan diri kepada-Nya. Dengan menyiapkan amunisi secara utuh, baik secara lahir (tsaqafah dan raga) dan batin (taqarub ila Allah dan mental).
“Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah, padahal Allah-lah yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi? Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (TQS. Al-Hadid:10)
Seorang pengemban dakwah juga harus bersikap hati-hati. Jangan sampai ia berpaling dan terperosok kedalam godaan dan jangan pula ia cenderung pada berbagai perangkap kebatilan yang sengaja dipasang oleh musuh-musuh mereka, atau orang-orang bodoh yang berusaha memalingkan dari perkataan yang benar,dan keterikatan dengan kebenaran, dan dari keteguhan dalam mendakwahkan kebenaran.
Seorang pengemban dakwah mesti mempelajari kisah-kisah para Nabi dan Rasul, sekaligus menyaring hikmah dan pelajaran yang disarikan dari kisah-kisah para Nabi dan Rasul di tengah-tengah aktivitasnya mengemban dakwah. Tentu saja, semua itu harus disandarkan pada Sirah Nbawiyah yang menjadi asasnya. Siapa saja yang tidak melakukannya, berarti ia telah membatasi dan mengurangi keutamaan bagi dirinya, ia tidak mendapatkan baian apa pun selain sekedar pahala dari membacanya saja.
Inilah sejumlah pelajaran dan hikmah yang bisa dijadikan dasar penelitian dan pijakan lebih lanjut oleh para pengemban dakwah dalam melakukan pengkajian dan penyelidikan kisah-kisah para Nabi dan Rasul.
pertama, di antara yang paling penting diperlukan oleh seorang pengemban dakwah adalah keteguhan dalam dakwah . Hal itu karena banyaknya rintangan dan kesulitan yang bakal dihadapinya, banyaknya siksaan dan tekanan yang bakal dialaminya, dan banyaknya godaan atau hasutan yang bakal ditawarkan kepada dirinya. Sesungguhnya seorang pengemban dakwah akan dihadapkan pada perlawanan dan penolakan para penentang dakwah akibat dakwah yang konsistensinya di dalamnya. Kadang-kadang menawarkan kerjasama dan harta dalam jumlah banyak, kadang-kadang pula mereka menawarkan berbagai jabatan yang tinggi dan kedudukan yang terpandang. Apabila semua itu gagal dan pengemban dakwah terus konsisten dan bersikap teguh dalam dakwahnya, mereka akan menggunakan senjata untuk menghantamnya secara fisik, menimpakan berbagai bentuk penyiksaan fisik maupun psikis kepadanya, menumpahkan berbagai penderitaan atas dirinya, atau memenjarakannya selama bertahun-tahun. Dalam hal ini, pengemban dakwah mana pun yang bersikap lemah dan malah memenuhi tuntutan mereka sesungguhnya telah terjatuh pada murka Allah dan siksa-Nya. Sebalinya, siapa saja yang tetap bersikap teguh dalam dakwahnyadan dapat membebaskan diri dari semua itu akan mendapatkan pahala yang besar dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah.
Kedua, keteguhan dan kekonsistenan dalam dakwah, yakni dalam seluruh pemikiran dan hukum-hukum syariat yang diemban dan didakwahkan epada masyarakat, adalah kewajiban yang sangat besar yang mesti ditegakkan dengan sekuat tenaga. Seorang muslim, apalagi pengemban dakwah, secara mutlak haram mengemban satu pemikiran atau satu hukum pun yang berasal dari luar Islam. Mereka harus senantiasa bersikap waspada dan berhati-hati terhadap setiap pemikiran ataupun hukum batil dan merusak yang dilontarkan oleh musuh-musuh  dakwah dan musuh-musuh Islam. Sayangnya, pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum diluar Islam itu justru sering dilontarkan dan didakwahkan oleh para ulama, ahli fikih, dan orang-orang yang berada dalam pengaruh para penguasa. Akibatnya, kaum Muslim tersimpangkan dari pemahaman Islam yang shahih dan terpalingkan dari agamanya yang benar. Padahal, pertolongan Allah akan datang bersamaan dengan keteguhan di atas kebenaran walaupun berat dan sulit.
ketiga, sikap sabar yang menghiasi dirinya secara terus-menerus akan mendatangkan pertolongan Allah. Tanpa sikap sabar, Allah tidak menolongnya, dan tidak akan pernah memuliakannya.
“Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka. Tak ada seorangpun yang dapat merobah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebahagian dari berita rasul-rasul itu.” (TQS. Al-An’am:34)
keempat, seorang pengemban dakwah wajib untuk beramal semata-mata ikhlas karena Allah, tidak mencari imbalan atau balasan berupa harta, pangkat, maupun tujuan-tujuan duniawi lainnya. Sebab, ketika ia beramal dengan amal para Nabi, yakni mengemban dakwah, sudah seharusnya ia pun meneladani keteladanan yang mereka tunjukkan. Sebagaimana perkataan Nabi Nuh a.s. kepada kaumnya.
Dan (dia berkata): "Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang tidak mengetahui." (TQS. Hud:29)
Menjauhi sikap hawa nafsu dan syahwat, inilah kewajiban terbesar bagi setiap pengemban dakwah yakni menjauhi sikap memperturutkan hawa nafsu serta memenuhi berbagai keinginan dan syahwat di atas keteguhannya dalam memegang dan terikat dengan kebenaran. Sebab, itu merupakan kesesatan yang sangat nyata. Setiap pengemban dakwah jugatidak boleh menjadi sesat dan menyesatkan.
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (TQS. Shad:26)
kelima, setiap pengemban dakwah wajib meyakini janji Allah berupa pertolongan, meyakini akan berpindahnya kepemimpinan di muka bumi kepada mereka, serta meyakini bahwa mereka akan mampu mengalahkan orang-orangyang durhaka, takabur, zalim, dan sekular. Semua itu harus diyakini sebagai suatu hakikat yang nyata, yang mesti tertanam secara mendalam dalam dirinya, serta sebagai suatu yang niscaya meskipun dia sendiri mungkin tidak akan merasakan atau bahkan menyaksikannya. Bagi seorang pengemban dakwah, sudah cukup jika ia meyakini janji Allah Swt, berupa pertolongan-Nya dengan memandang bahwa pertolongan tersebut sebagai suatu hakikat yang nyata dan pasti terjadi. Dengan meneliti berbagai kisah para Nabi dan Rasul di dalam Al-qur’an kita akan menemukan bahwa pertolongan Allah kepada mereka memiliki tiga bentuk: (1) pertolongan diri Nabi/Rasul yang bersangkutan dalam menghadapi kaumnya, para penentangnya, dan orang-orang durhaka dari kalangan mereka, (2) pertolongan atas dakwah atau pemikiran yang di Nabi/Rasul yang bersangkutan, (3) pertolongan atas diri Nabi/Rasul yang bersangkutan dan dakwahnya secara bersamaan.
Keenam, seorang pengemban dakwah akan menemukan bahwa keselamatan dan keetrlindungan makhluk dari azab Allah hanya mungkin terwujud semata-mata dengan cara berlindung kepada Allah dan menjalankan perintah-Nya. Begitu juga sebaliknya.
“Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya,[ sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: "Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir." Anaknya menjawab: "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!" Nuh berkata: "Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang." Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. (TQS. Hud:42-43)
ketujuh, seorang pengemban dakwah wajib untuk mengemban dakwah dengan penuh kekuatan, teguh, dan bersifat menantang, tanpa mempedulikan lagi berbagai akibat dan bahaya yang bakal menimpa dirinya. Ia semata-mata menjadikan dakwah dan kemaslahatannya sebagai target dan tujuan hidupnya. Ia pun menyadari bahwa rasa takut kepada manusia, bersikap lemah, dan mencari selamat, justru akan menjauhkannya dari berbagai kesuksesannya dalam dakwah serta menjauhkannya dari keridhaan dan pertolongan Allah swt.
“Rasulullah pernah berdiri di tengah-tengah kami. Beliau tidak meninggalkan di tempat berdirinya itu satu keterangan pun mengenai apa yang akan terjadi sampai hari kiamat kecuali beliau ceritakan semuanya. Mereka yang menghafalnya akanhafal dan mereka yang melupakannya akan lupa. Sungguh para sahabat rasulullah mengetahui semua keterangan tersebut.” (HR. Abu Daud dan Ibn Hibban)
Seperti yang telah kita ketahui, Rasulullah saw. Adalah orang yang sangat ingin menjaga dan memelihara umatnya serta senantiasa memberi nasihat kepada mereka. Karena itu dalam khutbahnya itu Rasulullah pernah memberi isyarat adanya kelompok yang akan diberi pertolongan dan memperoleh kemenangan? Apakah beliau menerangkan sifat-sifatnya?
Apabila kita meneliti hadist-hadist Nabi yang mulia dalam masalah ini, kita akan mendapatkan sejumlah hadist yang menyebutkan sekumpulan sifat dari sebuah kelompok. Hadist-hadist tersebut menyebutkan berbagai hal yang bakal dihadapioleh kelompok yang dimaksud, seperti adanya sikap permusuhan, penelantaran orang-orang, dan penentangan para penentangnya, yang semua itu tidak sampai memadaratkan (menghentikan perjuangan) mereka. Hadist-hadist tersebut juga menjelaskan begaimana perjuangan dan upaya mereka untuk melaksanakan perintah Allah serta mengawasi dan mengontrol pelaksanaannya, menyebutkan konsitensi mereka dalam kebenaran dan keteguhan mereka dalam membela agama Islam, menentukan tempat kemunculan dan pertumbuhan mereka, serta mengabarkan bahwa kelompok yang dimaksud akan memperoleh kemenangan dan akan berhasil menegakkan sebuah negara (Khilafah Islamiyah) yang akan memerangi musuh-musuh Islam pada akhir zaman.
Sabda Rasulullah saw:
“Akan senantiasa ada sebagian orang dari umatku yang terus menegakkan urusan agama Allah. Tidak sampai memadaratkan mereka orang-orang yang menelantarkan mereka atau yang menentang mereka atau yang menentang mereka hingga tiba keputusan Allah (Hari Kiamat), sementara mereka tetap dalam kedaan seperti itu.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
Setiap pengemban dakwah harus memahami bahwa dirinya merupakan representasi atau perwujudan Islam satu-satunya di tengah ketiadaan Daulah Islamiyah sebagai representasi atau perwujudan Islam yang paling besar. Setiap pengemban dakwah harus menjadi “Islam yang Berjalan”, persis seperti para sahabat Rasulullah saw. Ia tidak boleh menganggap remeh salah satu dari ketiga aspek yaitu ucapan, perilaku, dan sifat yang membentuk kepribadian Islamnya selaku seorang pengemban dakwah. Karena itu, siapa saja yang mampu mempresentasikan dan mewujudkan Islam secara benar dan sempurna dalam dirinya, berarti ia layak disebut sebagai pengemban dakwah, yang akan sukses dalam aktivitasnya dan akan mampu memuaskan manusia dengan berbagai pemikiran serta hukum-hukum Islam yang diemban dan didakwahkannya. Sebaliknya, siapa saja yang tidak mampu mempresentasikan dan mewujudkan Islam dalam dirinya, ia berarti kehilangan jatidirinya sebagai seorang pengemban dakwah yang sejati. Ia tidak dipandang mampu mengemban dakwah secara kontinu dengan menuai keberhasilan dalam dakwahnya.
Seorang pengemban dakwah wajib menjadi seorang yang ‘alim (berilmu), yakni menguasai berbagai pemikiran dan hukum-hukum Islam yang wajib ia ketahui dalam kapasitasnya sebagai pengemban dakwah. Karena, orang bodoh tentu tidak akan mampu dan tidak dapat dipercaya untuk dapat menyampaikan apa yang diperintahkan oleh Islam, sehingga ia pasti tidak mungkin mampu mengemban dakwah secara benar. Dalam hal ini, Allah telah mendorong setiap orang untuk menuntut ilmu, sekaligus mengagungkan kedudukan para ulama. Allah swt berfirman:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (TQS. Al-Mujadillah:11)
Seorang pengemban dakwah, secara asali, haruslah orang yang berilmu. Dia harus memahami bahwa dirinya mesti menjadi teladan bagi masyarakatnya. Dengan begitu, mereka akan mendengar setiap ucapannya dan mengambilnya dengan anggapan bahwa ucapannya adalah hukum syariat atau merupakan bagian dari agama. Perkara ini tidak boleh diabaikan dan dianggap enteng dalam situasi dan kondisi apa pun. Bahkan, seandainya ia dalam keadaan benci, marah, atau yang sejenisnya, ia tetap harus mengucapkan kata-kata yang benar sebagaimana diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Seorang pengemban dakwah juga wajib untuk menjalankan amal perbuatannya, sekaligus mengikat seluruh perilakunya dengan hukum-hukum syariat. Ia tidak boleh melakukan perbuatan apa pun kecuali yang sesuai dengan hukum syariat,  karena sebuah kaidah syariat mengatakan:
“Hukum asal perbuatan adalah terikat dengan hukum syariat”.
Seorang pengemban dakwah juga mesti menghiasi dirinya dengan sifat-sifat yang terpuji dan akhlak yang baik. Ia harus bersikap benar/jujur dan ikhlas, pemurah dan mau berkorban, sabar dan teguh pendirian, rendah hati dan mencintai sesama, takut kepada Allah, cinta dan benci karena Allah, berbaik sangka kepada orang lain, dll.sebaliknya, ia tidak boleh memiliki sifat-sifat yang tercela dan akhlak yang buruk. Karena, Allah tidak akan memberikan taufik atas amal-amal mereka dan tidak pula memberikan pahal kebaikan kepada mereka.
Seorang pengemban dakwah wajib untuk berpegang teguh pada hukum-hukum syariat serta berusaha meninggalkan dosa dan kemaksiatan sampai Allah memberikan kebaikan melalui tangannya, memuliakannya dengan menurunkan pertolongan kepada umat ini melalui usahanya, mengokohkan kedudukannya di dunia, memasukkannya ke dalam surga Firdaus, serta menempatkannya pada derajat yang sangat tinggi di surga pada hari perjumpaan dengan-Nya.
Keimanan yang kuat akan memungkinkan pengemban dakwah berhasil menghindarkan diri dari berbagai  godaan dan tawaran-tawaran istimewa yang di sodorkan kepadanya. Juga dapat melepaskan dari jeratan berbagai keingingan dan hawa nafsu yang mendominasinya. Dengan begitu, ia akan menjadi api yang menyala-nyala, gerak dinamis, serta aktivitas yang berkesinambungan, yang dapat mengalahkan segala rintangan, mengatasi segala godaan dan kesesatan, serta menyingkirkan berbagai keinginan dan syahwat. Dengan begitu pula ia akan menjadi sebuah representasi dari Islam yang hidup, yang diliputi dengan pemeliharaan, pertolongan, dan taufik Allah, yang menyebabkan dirinya berhak mendapatkan pertolongan Allah sehingga berbagai kebaikan berada di tangannya.
Rintangan berupa kecintaan terhadap dunia dapat dilalui dengan mengedepankan kecintaan terhadap akhirat sekaligus berupaya menumbuhkembangkan cinta tersebut diatas kecintaan terhadap dunia dan upaya menumbuhkembangkannya.
“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: "Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah" kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit.” (TQS. At-Taubah:38)
 “Akan tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.”             (TQS. Al-A’la:16-17)
Dunia ibarat seperti air
“Dunia itu, dibandingkan dengan akhirat, adalah seperti salah seorang di antara kalian yang memasukkan telunjuknya ke dalam lautan. Perhatikanlah, apa yang tertinggal pada telunjuk tersebut? (HR. Muslim, at-Tirmidzi, Ibn Majah, dan Ahmad)
Dunia bukan tempat bermukim
“Jadilah kamu di dunia ini seolah-olah orang asing atau orang yang sedang menyeberangi jalan.” (HR. Al-Bukhari, at-Tirmidzi, Ibn Majah, dan Ahmad)
Cinta dunia tunduk pada nafsu
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (TQS. Al-Kahfi:28)
Islam punya visi mengamalkan dan mengemban Islam
Islam telah memerintahkan kita dengan dua perkara puncak: yakni mengamalkan ajaran Islam dan mengembannya ke tengah-tengah umat manusia. Mengamalkan Islam tanpa mendakwahkannya, baru merupakan setengah tuntutan Islam. Sebaliknya, mengemban dakwah Islam tanpa mengamalkannya, juga baru setengah tuntutan Islam. Maka, wajib menunaikan kedua-duanya secara bersamaan, yakni mengamalkan Islam dan mendakwahkannya ke tengah-tengah umat manusia.
Waspada terhadap dunia
Kaum muslim, terutama pengemban dakwah, harus berhati-hati dan waspada dari kecintaan terhadap dunia dan upaya menikmati dunia yang tidak sesuai dengan syariat Allah serta mengutamakannya atas akhirat. Hendaklah mereka berusaha untuk menggapai akhirat, mendekatkan diri kepada Allah dengan berlaku takwa kepada-Nya, serta berpindah ke golongan orang-orang yang terdahulu yang didekatkan kepada Allah ( as-sabiqun al-muqarrabun), yakni mereka yang memasuki surga tanpa hisab terlebihh dulu.
Bersama Kitabullah: Mempelajari, mengamalkan, mengajarkan
Mempelajari dan mengajarkan al-qur’an adalah sebaik-baik pembelajaran dan pengajaran, menghafal dan memelihara hafalan al-qur’an adalah sebaik-baik penghafalan dan pemeliharaan hafalan, membaca dan membaguskan bacaan al-qur’an juga adalah sebaik-baik pembacaan dan pembagusan bacaan. Setiap muslim, terutama pengemban dakwah, harus senantiasa mempelajari al-qur’an, merenungkan makna-makna dan hukum-hukumnya, sekaligus menjadikannya sebagai petunjuk dan cahaya bagi dirinya.
Rasulullah saw bersabda:
“Bacalah al-qur’an oleh kalian apa yang dapat mempersatukan kalbu-kalbu kalian. Apabila kalian berselisih, hendakalah kalian tegakkan ia.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
Al-Quran, sebagaimana telah diketahui, terdiri dari 30 juz yang bisa dibaca dalam waktu 30 hari. Dengan kata lain, setiap hari yang bisa dibaca kira-kira satu juz atau sekitar 20 halaman. Ini adalah pembacaan al-Quran yang paling normal. Kecuali bagi orang yang dipenjara/tahanan, yang terbaring ditempat tidur karena sakit, atau yang sering bangun malam, tidak mengapa jika ia membaca dan menamatkan Al-Quran kurang dari 30 hari. Dalam hal ini Abdullah bin ‘Amr menuturkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Bacalah Al-Quran itu dalam sebuka.” Aku berkata, “sesungguhnya aku sanggup melakukannyaa.” “Bacalah selama dua puluh malam.” Aku berkata, “sesungguhnya aku pun sanggup melakukannya.” “Bacalah selama seminggu dan jangan kurang dari itu.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Ahmad)
Pada dasarnya dan pada prinsipya, seorang Muslim harus membaca Al-Quran dengan penuh kesadaran, yakni dengan menyadari dan memahami apa yang dibacanya. Pada saat ia membaca Al-Quran, ia hendaknya mengetahui bahwa kalam Allah sedang mengalir melalui lisan-Nya. Karena itu, apabila ia mengabaikan hal ini karena ia disibukkan oleh perkara-perkara lain, hendaknya ia berhenti membaca Al-Quran, dan segera menunaikan terlebih dulu keperluannya. Dengan begitu, ia tidak akan membaca Al-Quran kecuali benaknya menekuni apa yang dibacanya. Apabila ia membaca ayat Al-Quran yang didalamnya berisi tentang rahmat, ia akan memohon kepada Allah untuk merahmatinya dan merahmati kaum Muslim.  Apabila ia membaca ayat Al-Quran yang didalamnya berisi tentang azab, ia akan berlindung kepada Allah dari siksa-Nya.  Dan Apabila ia membaca ayat Al-Quran yang didalamnya berisi tentang penyucian Allah, ia akan menyucikan Allah dan bertasbih untuk-Nya. Demikianlah ia senantiasa berinteraksi dengan Al-Quran dengan penuh kekhusyukan dan disibukkan dengannya hingga mengabaikan yang lainnya. Hudzaifah binal-Yaman menuturkan bahwa Rasulullah saw.bersabda:
“Sesungguhnya Rasulullah saw, apabila membaca/mendengar ayat tentang rahmat Allah, beliau memohonnya, apabila membaca/mendengar ayat tentang azab, beliau berlindung kepada Allah darinya, apabila membaca/mendengar ayat yang didalamnya menyucikan Allah, beliau pun bertasbih untuk-Nya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Tirmidzi)
Allah swt berfirman:
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. “ (TQS. Al-Baqarah:214)
Seorang pengemban dakwah,
 seharusnya menjadikan Islam sebagai cerminan di dalam dirinya;
baik menyangkut berbagai pemikiran, hukum, maupun sifat-sifat dan akhlak yang baik dan utama.
Jika Islam belum tercermin dalam dirinya, ia belum layak untuk mengemban dakwah ini.
Kalaupun ia berusaha melakukannya, jelas ia tidak akan pernah berhasil;
kebaikan juga tidak akan pernah terwujud melalui tangannya.
Sebab, dalam kondisi demikian, berarti tdk ada keselarasan maupun kesesuaian di antara dua perkara di atas.
Padahal, dua perkara di atas merupakan hal yang niscaya dan wajib ada.
Sebab, seorang pengemban dakwah sudah semestinya memahami bahwa apabila ia tidak mempersiapkan dirinya agar
Islam terintegrasi dalam dirinya, baik dalam berbagai pemikiran, hukum, maupun sifat-sifat Islami yang harus
dimiliknya, berarti ia belum layak untuk mengemban dakwah.
Bahkan, ia tidak akan pernah menjadi seorang pengemban dakwah, meskipun ia telah berusaha ataupun mengklaim
dirinya sebagai pengemban dakwah.
Karena dakwah adalah puncak kebajikan dan keutamaan dalam kehidupan umat manusia.
Dakwah tidak akan benar-benar dapat diemban kecuali oleh seseorang yang menghiasi dirinya dengan puncak kebajikan
dan keutamaan; baik dalam ucapan, perilaku, maupun sifat-sifatnya.
Ketaatan kita kepada Allahlah yang mendekatkan Nasrullah.
Marilah kita memuhasabahi diri wahai para pengemban dakwah
yang mengemban tugas mulia ini...

       Wallahu a’alam bi ash-shawab.








 


 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar